Syarat Diwajibkannya Qishah
KITAB TINDAKAN-TINDAKAN PIDANA (2)
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Syarat Diwajibkannya Qishash
Hukum qishash tidak wajib dilaksanakan kecuali telah terpenuhi syarat-syarat berikut:
1. Pelaku pembunuhan adalah mukallaf (baligh dan berakal-pent), maka tidak ada qishash atas anak kecil, orang gila, dan orang yang sedang tidur, berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَبْلُغَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ.
“Diangkat pena pencatat amal dari tiga kelompok; (1) anak kecil sampai ia baligh, (2) orang gila sampai ia sadar, dan (3) orang tidur sampai ia bangun.”[14]
2. Terjaganya darah korban.
Hendaknya pembunuhan bukan disebabkan karena sebab-sebab yang disebutkan dalam hadits: “Tidak halal menumpahkan darah seorang muslim… kecuali dengan salah satu dari tiga perkara…” [15]
3. Korban bukan anak kandung pelaku.
Berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يُقْتَلُ وَالِدٌ بِوَلَدِهِ.
“Seorang bapak tidak dibunuh karena membunuh anaknya.” [16]
4. Korban bukan seorang kafir sedangkan pelakunya muslim.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ.
“Seorang muslim tidak dibunuh karena telah membunuh seorang kafir.” [17]
5. Korban bukan seorang budak sedangkan pelakunya orang yang merdeka.
Berdasarkan perkataan al-Hasan Radhiyallahu ‘anhu:
لاَ يُقْتَلُ حُرٌّ بِعَبْدٍ.
“Seorang yang merdeka tidak dibunuh karena membunuh budak.” [18]
Sekelompok Orang Diqishash dengan Sebab Membunuh Satu Orang
Apabila sekelompok orang membunuh satu orang, maka mereka dibunuh semua, hal ini berdasarkan riwayat Malik dari Sa’id bin al-Musayyib, “Sesungguhnya ‘Umar bin al-Khaththab membunuh sekelompok orang, lima atau tujuh orang, yang membunuh satu orang dengan tipu daya [19]. Kemudian ia berkata, ‘Jika seandainya seluruh penduduk Shan’a’ bersepakat untuk membunuhnya, maka aku akan membunuh mereka semua.’” [20]
Penetapan Qishash
Qishash ditetapkan berdasarkan dua hal berikut:
Pertama: Pengakuan.
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Seorang Yahudi mencederai kepala seorang wanita dengan dua buah batu. Kemudian wanita itu ditanya, ‘Siapa yang melakukan ini? Apakah si fulan? Atau si fulan?’ Sampai disebutkan nama Yahudi itu, dan ia menganggukkan kepalanya. Yahudi itu pun didatangkan dan ia mengakuinya. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskannya, dan diciderailah kepala Yahudi itu dengan batu.” [21]
Kedua: Dengan kesaksian dua laki-laki yang adil.
Dari Rafi’ bin Khudaij, ia berkata, “Seorang laki-laki dari kalangan Anshar terbunuh di Khaibar. Kemudian, keluarganya menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menceritakan kejadiannya. Beliau bersabda, ‘Apakah kalian mempunyai dua orang saksi yang menyaksikan pembunuhannya?’ Mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, di sana tidak ada kaum muslimin seorang pun, yang ada hanyalah Yahudi, dan terkadang mereka berani melakukan hal yang lebih kejam. Beliau bersabda, ‘Ambillah 50 orang dari mereka dan mintalah mereka bersumpah.’ Mereka pun menolak, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar dendanya dari harta beliau sendiri.” [22]
Syarat Bisa Ditegakkannya Qishash
1. Keluarga korban adalah orang yang mukallaf (baligh dan berakal).
Apabila keluarganya masih anak kecil atau gila, maka pelaku dipenjara hingga ia (keluarga korban) mukallaf.
2. Bersepakatnya keluarga atas qishash.
Apabila sebagian keluarga memaafkannya, maka qishash tidak bisa dilaksanakan.
Dari Zaid bin Wahhab, ia berkata, “Disidangkan kasus pembunuhan kepada ‘Umar. Keluarga korban menghendaki qishash. Namun saudari korban -yang merupakan isteri pembunuh- berkata, ‘Aku telah memaafkan suamiku dari bagianku.’ Maka ‘Umar berkata, ‘Bebaskan laki-laki itu dari pembunuhan.’”
Dan masih darinya, “Seorang laki-laki mendapati isterinya bersama laki-laki lain. Kemudian ia membunuh isterinya. Pada saat kasusnya dihadapkan kepada ‘Umar bin al-Khaththabz, ia mendapati sebagian saudara isterinya ada di sana. Dari bagiannya, ia memilih pembayaran denda. Kemudian ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan seluruh saudaranya agar membiarkan ia membayar denda.”
3. Hendaknya pelaku kejahatan tidak merugikan orang lain pada saat ia diqishash.
Apabila seorang wanita yang sedang hamil harus diqishash, maka ia tidak boleh dibunuh sampai ia melahirkan anaknya dan menyusui anak tersebut.•
Dari ‘Abdullah bin Baridah dari ayahnya, ia menjelaskan bahwasanya ada seorang wanita dari suku Ghamid bertanya pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Sesungguhnya aku telah berzina.” Beliau bersabda, “Pulanglah!” Wanita itu pun pulang. Keesokan harinya ia datang kembali dan berkata, “Mungkin engkau hendak meragukan (pengakuanku) sebagaimana engkau meragukan (pengakuan) Ma’iz bin Malik. Demi Allah, aku telah hamil.” Beliau bersabda, “Pulanglah!” Dan ia pun pulang. Keesokan harinya ia datang kembali. Maka beliau bersabda kepadanya, “Pulanglah sampai engkau melahirkan.” Dan ia pun pulang.
Setelah melahirkan, ia menghadap kembali dengan seorang bayi dan berkata, “Ini anakku, aku telah melahirkan.” Beliau bersabda, “Pulanglah, susuilah ia sampai engkau menyapihnya.” Kemudian ia datang kembali setelah ia menyapihnya dan di tangan anak itu ada sesuatu yang ia makan, lalu ia memberikan bayi itu kepada salah seorang dari kaum muslimin. Kemudian beliau memerintahkan untuk menggali lubang untuk wanita itu, lalu wanita itu pun dirajam. Pada saat itu Khalid termasuk orang yang merajamnya, ia melempar wanita tersebut dengan batu sampai keluar darah dan mengenai keningnya, maka ia pun mencaci wanita tersebut. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tenang wahai Khalid, demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya, ia sudah bertaubat yang apabila taubatnya dimiliki para koruptor, maka ia akan diampuni. Lalu beliau memerintahkan agar ia dishalatkan dan dimakamkan. [24]
Bagaimana Cara Pelaksanaan Qishash?
Pada asalnya, pelaksanaan qishash terhadap pembunuh harus sesuai dengan bagaimana cara ia membunuh korban. Karena yang demikian itu mencerminkan persamaan dan keadilan. Hal ini berdasarkan firman Allah:
فَمَنِ اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ
“…Oleh sebab itu, barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu…” [Al-Baqarah/2: 194]
Juga firman-Nya:
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُم بِهِ
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu...” [An-Nahl/16: 126]
Juga berdasarkan perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau menciderai kepala seorang Yahudi dengan batu, sebagaimana ia (Yahudi itu) menciderai kepala seorang wanita dengan batu.[25]
Qishash Merupakan Kewenangan Hakim
Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Tidak ada perselisihan bahwa qishash terhadap pembunuhan hanyalah boleh ditegakkan oleh pemerintah. Maka wajib atas mereka menegakkan qishash dan hukuman hadd dan selainnya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan seluruh kaum mukminin agar menegakkan qishash, kemudian tidak mungkin seluruh kaum mukminin siap untuk pelaksanaan qishash, maka hendaknya mereka mendirikan pemerintahan untuk menggantikan kedudukan mereka dalam penegakan qishash, hukuman hadd, dan lain sebagainya.”[26]
Alasan yang demikian, sebagaimana disebutkan oleh as-Shawi -dalam catatan kakinya terhadap kitab al-Jalaalain-, beliau berkata, “Sebagaimana diketahui bahwa pembunuhan yang disengaja merupakan suatu permusuhan, maka wajib atas hakim untuk menyerahkan urusan pelaku pada keluarga korban. Kemudian, pemerintah melaksanakan apa yang menjadi pilihan keluarga korban, antara qishash, pengampunan, atau denda. Keluarga korban tidak boleh mengeksekusi pelaku tanpa izin hakim, karena di dalamnya terdapat unsur kerusakan dan kehancuran. Apabila mereka membunuh sebelum mendapat izin hakim, maka ia berhak dipenjarakan.” [27]
Qishash Pada Selain Nyawa
Sebagaimana qishash ditetapkan pada nyawa, maka qishash pun ditetapkan pada selainnya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنفَ بِالْأَنفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka (pun) ada qishashnya…” [Al-Maa-idah/5: 45]
Walaupun hukum ini disyari’atkan bagi umat-umat sebelum kita, namun ia tetap diberlakukan bagi kita (umat Islam), berdasarkan taqrir (penetapan) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam al-Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rubayyi’ bin an-Nadhr bin Anas memecahkan gigi seorang wanita. Lalu keluarganya bermaksud memberikan tebusan (diyat), namun mereka menolak kecuali ditegakkannya qishash. Maka datanglah saudaranya yaitu Anas bin an-Nadhr seraya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah gigi Rubayyi’ akan dipecahkan? Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, janganlah engkau pecahkan giginya.” Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Anas, (ikutilah) al-Qur-an (yang di dalamnya ada) qishash.” Lalu mereka (keluarga korban) merelakan dan memaafkannya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ َلأَبَرَّهُ.
“Sesungguhnya di antara hamba Allah, terdapat seseorang yang apabila ia bersumpah dengan Nama Allah, sungguh Dia akan membenarkan sumpahnya.”[28]
Syarat-Syarat Qishash Pada Selain Nyawa
Disyaratkan qishash pada selain nyawa hal-hal berikut:
1. Pelaku kejahatan telah mukallaf.
2. Disengajanya tindakan kejahatan tersebut. Karena ketidak-sengajaan pada dasarnya tidak menyebabkan adanya qishash pada jiwa, maka terlebih lagi pada selain jiwa.
3. Sebandingnya darah antara pelaku dan korban. Maka tidak diqishash seorang muslim yang melukai kafir dzimmi, atau orang merdeka yang melukai seorang budak, atau orang tua yang melukai anaknya.
Qishash Pada Anggota Tubuh
Qishash pada anggota tubuh, disyaratkan pelaksanaannya dengan beberapa hal berikut:
1. Mungkinnya pelaksanaan qishash tanpa adanya kezhaliman.
Hal ini dengan cara memotong bagian persendian, seperti siku, pergelangan tangan, atau sampai pada batas seperti tulang lunak hidung tanpa batang hidungnya. Maka tidak ada qishash pada bagian dalam kepala atau perut, patah pada sebagian lengan, atau tulang selain gigi.
2. Setaranya nama dan bagian (pada anggota tubuh).
Maka tangan kanan tidak boleh dipotong karena telah memotong tangan kiri, tidak pula jari manis dengan jari kelingking, begitu juga sebaliknya. Tidak pula organ asli dengan imitasi. Hal ini karena tidak adanya kesetaraan pada nama, bagian, atau manfaat.
3. Anggota tubuh dari masing-masing pelaku dan korban adalah sama keadaan, kesehatan dan kesempurnaannya. Maka tidak bisa diambil (dipotong) bagian tubuh yang sehat karena memotong bagian tubuh yang sakit, tidak pula dipotong tangan yang sempurna karena telah memotong tangan yang cacat jari-jemarinya, dan boleh sebaliknya.
Qishash terhadap Luka yang Disengaja
Adapun luka yang disengaja, maka tidaklah wajib qishash, kecuali bila memungkinkan untuk menyamakan dengan luka korban tanpa menambah atau mengurangi. Apabila penyamaan dan penyetaraan tidak bisa diwujudkan, bahkan yang ada hanyalah melewati batas atau membahayakan, atau kemudharatan, maka qishash tidaklah wajib dilakukan, dan diwajibkan membayar diyat (denda).
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[14]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3512)].
[15]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7641)].
[16]. Shahih: [Al-Irwaa’ (no. 2214)], Sunan at-Tirmidzi (II/428, no. 1422), Sunan Ibni Majah (II/888, no. 2661).
[17]. Hasan shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 1141)], Shahiih al-Bukhari (XII/ 260, no. 6915), Sunan at-Tirmidzi (II/432, no. 1433), Sunan an-Nasa-i (VIII/23).
[18]. Shahih maqtu’: [Shahiih Sunan Abi Dawud, no. 3787], Sunan Abi Dawud (XII/238, no. 4494). Ini adalah pendapat jumhur ulama. Mereka berhujjah dengan dalil yang banyak meskipun masih diperdebatkan. Asy-Syinqithi telah menukilnya dalam Adhwaa-ul Bayaan, kemudian berkata, “Walaupun banyak diperdebatkan, namun riwayat yang banyak ini saling menguatkan, sehingga bisa dijadikan dasar hukum. Dengan keselarasannya bahwa tidak ada qishash pada selain pembunuhan, dalil-dalil ini membawa satu garis besar bahwa tidak dibunuhnya seorang yang merdeka karena membunuh budak. Apabila pada anggota tubuh saja tidak diqishash maka terlebih lagi pada nyawa. Tidak ada yang menyelisihi pendapat ini kecuali Dawud dan Ibnu Abi Laila. Pendapat ini juga dikuatkan lagi dengan keselarasannya dengan pendapat para ulama bahwa apabila budak terbunuh dengan tidak sengaja, maka atas pelaku (membayar) harga budak itu, bukan denda pembunuhan. Sebagian mengatakan, hal ini berlaku jika harga budak tidak melebihi nilai denda membunuh orang merdeka. Selain kesesuaian di atas, pen-dapat ini juga dikuatkan dengan pendapat ulama bahwa apabila budak di-tuduh berzina oleh orang yang merdeka maka ia tidak dikenakan hukum hadd qazhaf, kecuali terhadap budak yang telah melahirkan anaknya, seba-gaimana yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, al-Hasan, dan kaum Zhahiri.”
[19]. Membunuh dengan tipu daya yaitu dengan menipunya sehingga mereka me-nuju suatu tempat untuk bersembunyi, lalu mereka membunuhnya.
[20]. Shahih: [Al-Irwaa’ (no. 220)], Muwaththa’ Imam Malik (628/1574), asy-Syafi’i (VI/22), al-Baihaqi (VIII/41).
[21]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (XII/198, no. 6876), Shahiih Muslim (III/ 1299, no. 1672), Sunan Abi Dawud (XII/267, no. 4512), Sunan at-Tirmidzi (II/426, no. 1413), Sunan an-Nasa-i (VIII/22) dan Sunan Ibni Majah (II/89, 2666).
[22]. Shahih li ghairihi: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 3793)], Sunan Abi Dawud (XII/250, no. 4501).
[23]. Shahih: [Al-Irwaa’ (no. 2222)], Shahiih Ibni Hibban (X/13, no. 18188).
• Lafazh aslinya adalah laba’ yaitu air susu yang pertama diproduksi. Ini pen-ting untuk bayi. Dibunuhnya ibu sebelum bayi meminum laba’ akan mem-bahayakannya. Setelah itu apabila ada yang menyusuinya, maka bayinya diserahkan padanya, lalu ia (wanita tersebut) dibunuh, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Apabila tidak ada yang menyusui-nya, maka ia dibiarkan menyusuinya selama dua tahun penuh, berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud, yaitu hadits yang disebut di atas.
[24]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 3733)], Shahiih Muslim (III/1321, no. 1695), Sunan Abi Dawud (XII/123, no. 4419) dan ini lafazhnya.
[25]. Telah disebutkan takhrijnya.
[26]. Al-Jaami’ li Ahkaamil Qur-aan (II/245-246).
[27]. Fiq-hus Sunnah (II/453).
[28]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2228)], Shahiih al-Bukhari (V/306, no. 2703), Sunan Abi Dawud (XII/333, no. 4566), Sunan an-Nasa-i (VIII/27), Sunan Ibni Majah (II/884, no. 2649).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/983-tindakan-tindakan-pidana-2.html